Sejak kedatangan tetangga baru, Malvin dijauhi teman-temannya. Angga, Rudi, dan Karim tak mau lagi bermain ke rumah Malvin.
Nenek Ratih, nama tetangga baru itu. Rumahnya berdekatan dengan rumah Malvin. Ia tinggal sendiri. Ia membuka warung jamu di depan rumahnya.
Pada suatu sore, Malvin berpapasan dengan Angga dan Karim. Mereka hendak bermain bola di lapangan.
“Rim, aku ikut main bola ya?” bujuk Malvin.
“Mm. Aku sih setuju. Tapi…”
“Jangan Rim!” Angga menolak.
“Lo, kenapa?” tanya Malvin.
”Kamu ‘kan tetangganya nenek sihir. Nanti aku dan Karim disihir lagi!” kata Angga. Lalu mereka berdua bergegas menuju lapangan bola.
“Apa betul Nenek Ratih itu nenek sihir, sehingga teman-teman menjauhi aku?” Pikir Malvin.
Keesokan harinya, tanpa sengaja Malvin mendengar obrolan teman-temannya. Angga, Rudi dan Karim sedang membicarakan Nenek Ratih.
“Aku takut pada Nenek Ratih,” kata Angga.
“Aku juga. Bokongku pernah dipukul Nek Ratih. Sakit Sekali!” ujar Karim.
Rudi menambahkan, “Kamu belum seberapa, Rim. Aku dua kali diguyur nenek sihir itu.”
“Pura-puranya saja dia berjualan jamu. Aku yakin Nenek Ratih itu penyihir jahat!” seru Angga.
“Ah, pokoknya aku tak mau lagi bermain di dekat warung jamunya. Kata orang, dia ‘kan suka menculik anak kecil,” sambung Karim.
Malvin pun bergegas pulang. Ia berharap tak bertemu Nenek Ratih di jalan. Apalagi matahari sudah mulai terbenam. “Jangan-jangan perkataan teman-temanku benar. Nenek Ratih akan berubah menjadi nenek sihir di malam hari,” pikir Malvin.
Suatu hari, ada mata pelajaran olahraga. Kelas Malvin bermain sepak bola. Malvin mendapat giliran membawa bola. Saat pulang sekolah, ia ingin sekali pulang bersama Angga, Rudi dan Karim. Tetapi ketiga temannya itu sudah pulang lebih dahulu. Terpaksa Malvin pulang sendiri.
Sepanjang jalan pulang, Malvin menggiring bola tendangnya. Ia terlihat sangat gagah. Namun, perasaan takut tiba-tiba muncul. Lagi-lagi ia harus melintasi rumah Nenek Ratih. Kaki Malvin gemetaran. Ia tidak ingin berpapasan dengan nenek sihir itu.
Malvin sedang sial. Kakinya tersandung polisi tidur. Bolanya menggelinding kencang dan… suuiiiiit… Bola itu meluncur ke warung jamu Nenek Ratih! Nenek sihir yang suka memarahi anak kecil! Nenek sihir yang ditakuti anak-anak…
Malvin tak berani mengambil bolanya. Tetapi, ia juga tak ingin bolanya diambil nenek sihir itu. Maka, ia mengawasi rumah Nenek Ratih dari teras rumahnya sendiri, hingga sore hari.
Tiba-tiba turun hujan. Malvin cepat-cepat masuk ke halaman rumahnya. Dari balik jendela ia mengamati orang-orang sibuk mengangkat jemuran. Akan tetapi Nenek Ratih tidak keluar. Kini jemurannya basah diguyur hujan. Malvin kasihan. Ia cepat-cepat keluar untuk mengangkat jemuran Nenek Ratih.
“Nenek! Nenek! Hujan!” seru Malvin.
Tak lama, muncullah Nenek Ratih. Langkahnya terseret. Napasnya terengah-engah. Malvin merasa ngeri sekali. Namun…
“Oh! Terima kasih, Cucu. Nenek tertidur tadi,” kata Nenek Ratih.
“I… Iya, Nek.”
Nenek Ratih kemudian masuk ke dalam warungnya. Ia kembali dengan membawa bola milik Malvin.
“Ini bola kamu, Cu?” Malvin mengangguk. Kemudian Nenek Ratih memberikan bola itu. “Nenek kira bola ini milik anak-anak nakal itu!”
“Anak-anak nakal? Siapa, Nek? Tanya Malvin.
“Itu, teman-teman bermain kamu,” jelas Nenek Ratih.
“Maksud nenek, Angga, Rudi dan Karim?” Tanya Malvin lagi.
“Benar. Mereka sering memecahkan pot bunga kesayangan Nenek,” ujar Nenek Ratih.
Malvin benar-benar tak menyangka. Angga, Rudi dan Karim telah mengganggu Nenek Ratih.
“Nenek kira, semua anak di sini nakal. Ternyata kamu tidak. Nama kamu siapa?”
“Malvin, Nek.”
“Ya. Malvin. Ini untukmu. Sebagai tanda terima kasih Nenek.”
Wow! Nenek Ratih memberikan beberapa permen cokelat. Ternyata Nenek Ratih tidak jahat. Teman-teman Malvinlah yang sering berbuat nakal sehingga membuat Nenek Ratih jengkel dan kesal.
Lega rasanya hati Malvin mengetahui hal itu. Mmm, tentu saja ia akan membagikan permen cokelat itu kepada Angga, Rudi dan Karim. Agar mereka juga tahu betapa baiknya Nenek Ratih.