Sebuah amplop melayang, meliuk di antara cabang-cabang pepohonan.
Sesekali ia tersangkut di sela ranting pohon, kemudian terbang lagi terkena tiupan angin.
“Halo, apakah ada yang tahu di mana aku sekarang?” teriak Pluppi, sang amplop surat yang kini tersangkut di sela ranting pohon karet.
“Kau sekarang berada di Hutan Pelangi, amplop kecil,” suara Burung Merpati tiba-tiba mengagetkan Pluppi.
“Mengapa kau hanya seorang diri? Tidak adakah yang mengantarmu?” tanya Burung Merpati heran.
Pluppi menggeleng.
“Tidak ada, Burung Merpati.
Aku sampai sejauh ini karena diterbangkan angin.
Seharusnya, aku diantar oleh Tuan Pos.
Tapi belum sempat Tuanku mencapai kantor Tuan Pos, tiba-tiba ada angin yang sangat kencang menerbangkanku.
Tuanku sudah berusaha mengejarku, tapi aku telanjur naik semakin tinggi dan menjauh,” cerita Pluppi dengan murung.
“Jangan sedih, aku punya banyak teman yang bisa mengantarmu.
Boleh aku melihat alamatmu?” tanya Burung Merpati.
[artikel number=5 tag=”Cerpen” ]
Pluppi mengangguk senang.
“Wah, kau harus melewati lautan luas untuk mencapai ke sana.
Dan yang bisa mengantarmu adalah si Elang,” ucap Burung Merpati.
“Nah, itu Elangnya!” pekik Burung Merpati sambil menunjuk ke arah langit.
Ia kemudian memanggil Elang dan bercerita tentang Pluppi.
“Baiklah amplop kecil, aku akan mengantarmu.
Tapi hanya sampai di tengah lautan, karena tujuan kita tidak sama.
Nanti kuturunkan kau di sebuah kapal yang akan menuju ke dermaga terdekat dari kota tujuanmu,” ucap Elang.
Pluppi mengangguk senang dan mengucapkan terima kasih.
[adsenseintext]
***
bergidik ngeri melihat lautan luas dengan gelombangnya yang bergulung-gulung.
Untung saja ketika dilepas oleh elang beberapa meter dari atas kapal, ia bisa mendarat tepat di sebuah tas biru.
Tas biru yang melihat ketakutannya, mempersilkannya masuk lewat resletingnya yang terbuka cukup lebar.
Setelah berhasil masuk, mereka lalu bercakap-cakap.
“Wah, kebetulan sekali.
Tuanku juga akan menuju ke desa tersebut.
Kau ikut saja bersama kami Pluppi,” ucap Tas Biru setelah mendengar cerita perjalanan Pluppi.
“Benarkah? Terima kasih Tas Biru. Kau baik sekali.”
“Sama-sama Pluppi. Sekarang, kau istirahatlah.
Perjalanan kita masih panjang,” ucap Tas Biru.
Pluppi mengangguk senang.
Ia memang merasa sangat lelah.
Ia menguap, lalu jatuh tertidur dalam dekapan Tas Biru yang hangat.
***
CAMPURAN berbagai bau membangunkan Pluppi dari tidurnya.
Pluppi melihat sekeliling, dan kagetlah! Ia berada di sebuah truk bak terbuka dengan berbagai macam sampah di sekelilingnya! Ia pasti ketahuan oleh Tuan Tas Biru dan tanpa pikir panjang Tuan Tas Biru langsung membuangnya saat itu juga.
“Kenapa wajahmu begitu khawatir amplop kecil? Nikmati saja perjalanan ini sebelum kita dimusnahkan secara massal,” ucap Plastik Makanan melihat raut wajah Pluppi yang tidak tenang.
Apa? Dimusnahkan? Tidak! Aku tidak boleh dimusnahkan.
Tugasku belum selesai.
Pekik Pluppi dalam hati.
Ia kemudian beringsut menuju belakang truk.
Ia mau meloncat saat itu juga sampai tiba-tiba ia merasakan ada sebutir tetes hujan yang menimpa tubuhnya.
“Tidaaak! Suratkuuu!” Pekik Pluppi.
Ia lalu cepat-cepat bersembunyi di sebuah kantung plastik.
Suratnya tidak boleh rusak ataupun basah.
“Kalau kau ingin melaksanakan tugasmu dengan baik, kau tidak boleh bersikap ceroboh Amplop Kecil,” tegur Kaleng Makanan.
“Kebetulan aku tahu alamat yang kau tuju.
Alamat tersebut berada di balik bukit ketiga yang akan kita lewati nanti.
Berdoalah semoga hujan cepat berhenti,” tambahnya.
Pluppi yang mendengar itu hanya terdiam.
Dalam hati ia berdoa agar hujan cepat reda dan perjalanannya menyampaikan surat dimudahkan oleh Tuhan.
***
HAP! Akhirnya Pluppi berhasil mendarat dengan tepat di bahu seorang lelaki berjaket hijau yang melajukan motornya ke arah belakang bukit ketiga.
Dengan tergesa Pluppi menuju ke saku jaket lelaki tersebut, kemudian bersembunyi di sana.
Ia merasakan tubuhnya kembali hangat setelah diterpa udara dingin yang menggigit.
“Apa ini?” tiba-tiba motor yang ditumpanginya berhenti.
Pluppi yang hampir terlelap terjaga seketika ketika ia merasakan ada jemari yang mencengekeram tubuhnya, dan tanpa ampun membuangnya saat itu juga.
“Tidaak!” Pluppi berteriak. Ia kembali melayang, kemudian jatuh di atas jalan aspal.
Ia melayang lagi dan kini tersangkut di sela ranting pohon randu.
“Burung, maukah kau mengantarku ke sebuah alamat yang ada di balik bukit ini?” tanya Pluppi kepada setiap burung yang lewat.
Tapi semua burung yang ditanyainya tidak ada yang mau membantunya, dengan alasan hujan akan segera tiba.
Tes, tes, tes! Benar saja, rintik hujan turun dengan segera.
Pluppi kemudian cepat-cepat bersembunyi di bawah daun yang lebar.
Wush… namun baru saja Pluppi berlindung, angin kencang tiba-tiba datang dan kembali menerbangkannya.
Pluppi menabrak pohon, terguling di jalan aspal, melayang lagi, dan begitu seterusnya.
Ia kini bahkan tak bisa melindungi sang surat yang sudah basah terkena hujan.
Pluppi sedih.
Ia kini hanya bisa pasrah mengikuti ke mana sang angin pergi.
[adsenseintext]
***
“AYAH, lihat! Ada amplop kecil yang bertuliskan alamat kita!” ucap seorang anak kecil sambil memungut Pluppi dari atas rumput.
Pluppi yang tak sadarkan diri selama beberapa waktu kini terbangun.
Ia sangat kaget ketika melihat wajah anak itu yang mirip sekali dengan wajah tuannya.
Apakah ia adik Tuanku? Kalau benar ia adik Tuanku, apakah itu tandanya aku sudah sampai? Tanya Pluppi dalam hati.
“Benarkah? Biar Ayah yang buka, Rosi,” ucap sang ayah.
Dengan tidak sabar membuka Pluppi yang kini sudah berwarna kecoklatan dengan tulisan hampir memudar.
Pluppi berharap isi surat yang ada dalam dirinya masih bisa terbaca.
“Kakakmu sudah lulus Rosi.
Dan ini, surat undangan untuk menghadiri wisudanya minggu depan!” pekik lelaki itu riang.
Ia lalu memeluk Rosi dengan penuh haru.
Hati Pluppi meleleh mendengar itu.
Ternyata benar, ia sudah sampai.
Akhirnya, perjalanan panjangnya yang melelahkan itu selesai.
Kini, ia sudah bisa merasa tenang, karena tugasnya telah berhasil dijalankan.