PATUH suka burung. Bulan ini padi di sawah Pak Mukit hampir panen. Pastilah banyak burung kecil bergerombol makan padi. Padi Pak Mukit bisa gagal panen dilahap burung-burung kecil. Karena itu, Pak Mukit selalu minta Patuh membantu menjaga sawah.
“Hai, Patuh!” teriak Pak Mukit dari kejahuan.
Patuh menoleh pada Pak Mukit dan berjalan di pematang. Lumpur kering terasa menancap-nancap di kaki, tapi Patuh terbiasa menerjang walau tanpa alas kaki. Dengan langkah cekatan, Patuh mendekati Pak Mukit.
“Burungnya banyak sekali, Pak,” kata Patuh sambil memikul gulungan jala dan membawa sangkar.
“Ya begitulah, Patuh,” sahut Pak Mukit.
Pak Mukit berteriak keras, sehingga gerombolan burung berhamburan di udara. Saat itulah Patuh menuju ke tengah sawah, memasang jala. Setelah jala terbentang di kedua sisi sawah, Patuh kembali ke tepi menemani Pak Mukit.
Tak lama kemudian, burung-burung itu kembali mendarat. Beberapa ekor tersangkut di jala. Patuh lari menghampiri jala untuk mengambil dan memasukkan burung itu sangkar yang telah berisi makanan dan minum.
Burung itu nanti akan dia kumpulkan di sangkar lebih besar di rumah. Patuh merawat burung itu sampai panen usai. Lalu, ia melepas kembali di alam bebas.
“Kamu sungguh bijaksana, Patuh,” puji Pak Mukit yang tahu kebiasaan Patuh itu. “Selain membantu Bapak mengurai hama burung, kamu pun peduli pada nasib burung-burung itu.”
Patuh tersenyum sambil menggaruk kepala.
“Oh, itu karena Ayah. Ayah sering mengingatkan, saya tak boleh menyakiti hewan. Hewan juga berhak hidup, Pak.”
“Wah, benar sekali, Patuh!” ucap Pak Mukit.
“Oh iya, Pak, hama kan tidak hanya burung. Bagaimana dengan hama lain?” tanya Patuh.
“Wereng bisa Bapak atasi. Tikus yang biasanya keluar malam, Bapak serahkan pada Seno,” jawab Pak Mukit.
“Seno?” tanya Patuh terkejut sekaligus penasaran.
Setahu Patuh di sekitar tempat tinggalnya tak ada yang bernama Seno. Pak Mukit pun sebatang kara. Lantas siapa Seno?
“Ya, Seno. Dia yang selalu menjaga sawah Bapak pada malam hari. Kalau kamu penasaran, nanti malam datanglah ke rumah Bapak. Bapak perkenalkan pada Seno,” kata Pak Mukit penuh misteri.
“Wah, mau sekali, Pak!” seru Patuh.
***
MALAM hari, Patuh ke rumah Pak Mukit tak jauh dari sawah. Di sana, Patuh tak melihat orang lain. Hanya Pak Mukit yang sedang duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi.
“Eh, Patuh. Silakan duduk,” ucap Pak Mukit. “Sebentar, Bapak bawa Seno kemari.”
Dalam sekejap Pak Mukit masuk rumah. Patuh menunggu penuh tanda tanya. Sesaat kemudian Pak Mukit muncul dengan seekor burung hantu nangkring di lengan kanannya. Patuh bangkit.
“Perkenalkan, Patuh. Ini si Seno yang Bapak sebut siang tadi,” kata Pak Mukit.
“Wah! Baru kali ini saya melihat burung sebesar ini, Pak,” seru Patuh.
Seno diam. Matanya yang lebar memandang awas ke sekitar. Patuh sangat senang melihat. Dia mengelus punggung Seno. Meski Patuh orang baru, Seno tak terganggu. Burung itu tak bergerak dari lengan Pak Mukit.
Sesudah Patuh puas mengelus Seno, Pak Mukit menggerakkan lengan kanannya. Tiba-tiba Seno mengepakkan sayap, terbang ke ranting pohon tertinggi. Warnanya yang tadi kecokelatan kini terlihat hitam pekat seperti bayang-bayang di ujung ranting pohon trembesi. Lalu Pak Mukit mengajak Patuh ke sawah, menunjukkan burung kesayangan itu menjaga sawah.
Di sawah, mata Patuh terbelalak melihat Seno melayang-layang di langit gelap mengitari seluruh penjuru sawah. Saat itulah Seno tampak mengembang dua kali lebih besar dari ukuran tubuhnya. Lalu, Seno kembali hinggap di ujung pohon tertinggi. Mengawasi sawah Pak Mukit.
“Begitulah, Patuh, cara Seno menjaga sawah. Matanya yang tajam terus mengawasi sampai pagi buta. Jika melihat tikus, ia akan segera mengusir,” kata Pak Mukit sambil menatap Seno dari kejauhan.
“Luar biasa, Pak! Saya amat bahagia bisa mengenal burung secerdik Seno,” ucap Patuh gembira.
***
TIBA saat panen, hasil panen Pak Mukit melimpah. Pak Mukit memberi Patuh setengah karung beras sebagai rasa terima kasih. Sebab, Patuh telah membantu dan menemani menjaga sawah. Ketika itu pula, Patuh melepas semua burung kecil tangkapan kembali di alam bebas. (58)
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Anton Dwi Ratno
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” edisi Minggu 28 Januari 2018