Dua hari lagi ia akan tampil di pentas seni padang rumput. Acara tersebut rutin diadakan oleh para peri pohon Mahoni, untuk merayakan pergantian tahun Peri. Flipi pun semakin rajin berlatih, baik bersama kelompok pemain musik maupun sendirian.
“Po! Coba dengar, aku telah menciptakan irama baru!” Flipi berkata antusias kepada Polina si peri ungu. Temannya terbelalak. Ini sudah puluhan kali Flipi memamerkan suara terompetnya dan belum puas juga. Seharusnya ia bisa melihat kesibukan peri lain, pikir Polina.
“Ya, ampun Flipi! Aku harus mengantar bunga mawar ini pada Mel. Kalau tidak, dia bisa mengomeliku,” ketus Polina meneruskan terbang. Mel adalah koordinator dekorasi panggung.
“Tapi…,” Flipi menatap kecewa pada Po yang sudah melesat tinggi.
“Halo Fli, ada apa?”
Lewatlah Bo, peri pemetik bas. Ia satu kelompok dengan Flipi. Badannya sedikit gendut, namun tidak mengurangi kelincahannya.
“Bo! Barangkali kau mau mendengarkan irama baruku?” Flipi bertanya antusias. Bo menyeringai kecut.
“Oh, nanti saja ya, Fli. Aku belum makan siang, nih. Dah, Flipi!” Bo pun terbang menjauh cepat-cepat.
Flipi berkacak pinggang, “Huh, mereka payah! Tak bisa menghargaiku. Kutiup saja di dekat sungai ah!”
Ia lalu terbang menuju tepi padang rumput. Di sana ada sungai kecil jernih, favorit semua peri.
Sesampainya Flipi di pinggir sungai, suasana terlihat sepi. Padahal biasanya selalu ada kelompok peri mengobrol di sana. Rupanya mereka semua sibuk mempersiapkan perayaan. Tak apalah tanpa pendengar, pikir Flipi. Segera Flipi duduk di atas kelopak bunga berwarna biru. Ia lalu menempelkan ujung terompet ke mulut dan mulai meniup. Keluarlah nada-nada yang melengking. Dengan penuh konsentrasi si peri jingga ini memainkan lagunya.
Saking asyiknya, Flipi tak menyadari sesuatu. Ada seekor katak besar yang tengah beristirahat di balik rimbunan rumput, tak jauh dari Flipi bertengger. Warna kulitnya yang hijau memang menyamarkan katak itu dari penglihatan si peri. Sang katak mengintip dari sela-sela ilalang. Katak itu ingin tidur tapi terganggu oleh suara terompet Flipi.
Tentu saja sang katak merasa geram. Tanpa sepengetahuan Flipi, si katak mengendap-endap dari kiri, kemudian mengambil ancang-ancang. Tiba-tiba ia melompat ke arah si peri.
“A-ah!” Tentu saja Flipi terkejut. Refleks ia mengangkat tangannya, berusaha melindungi kepala. Akibatnya kaki depan katak menghantam terompet. Krak! Byur!
“Rasakan!” omel katak puas.
Flipi yang tercebur ke dalam sungai cepat-cepat berenang ke tepian dan naik ke darat. Seluruh tubuh dan sayapnya basah kuyup. Barulah setelah itu ia menyadari sesuatu.
“Oh, tidak! Terompetku!” Flipi meratap. Ya, terompet kesayangannya telah patah terkena terjangan kaki katak barusan. Si peri menatap marah pada katak itu.
“Jahat sekali, kau! Asal kau tahu ya, katak jelek. Aku ini salah satu pemain musik Ratu! Dua hari lagi aku akan tampil, tapi gara-gara kau terompetku rusak. Akan aku laporkan kau!”
“Oh, begitu? Silakan saja. Aku pun akan mengadukanmu peri jingga yang sok! Kau telah mengganggu istirahatku!” balas si Katak berani hingga Flipi terdiam.
“Lain kali berpikir dulu sebelum berbuat sesuatu, jangan egois dan seenaknya sendiri. Pikirkan juga yang ada di sekelilingmu!” Setelah berkata demikian sang katak melompat pergi.
Tinggallah Flipi si peri jingga, terduduk lesu dan sedih. Ia benar-benar memperoleh pelajaran yang patut didapatkannya.