PAK Sakur menuntun sepeda merah kesayangan yang telah pudar warnanya. Di boncengan terdapat gulungan kasur kapuk yang diikat tali potongan ban dalam. Siang itu panas. Peluh meleleh di wajah Pak Sakur, tetapi ia tidak mengeluh. Pak Sakur terus menuntun sepeda. Ketika melihat sebuah pohon rindang, Pak Sakur berhenti dan beristirahat.
Pak Sakur membuka rantang berisi nasi dan dua potong tempe goreng. Ia akan makan siang. Pada saat itu lewatlah seorang lelaki tua gelandangan berpakaian lusuh. Lelaki tua itu memandang Pak Sakur yang bersiap untuk makan siang.
“Bapak lapar?” tanya Pak Sakur.
Gelandangan itu mengangguk.
“Mari sini. Kita makan bersama,” ajak Pak Sakur.
Gelandangan itu bergegas mendekat. Mereka pun makan bersama.
“Terima kasih. Semoga Tuhan melimpahkan rezeki untukmu, Pak,” kata si gelandangan usai makan.
“Amin. Sekarang Bapak mau ke mana?” sahut Pak Sakur.
Gelandangan itu menggelengkan kepala.
“Tidak tahu. Bapak beruntung punya pekerjaan. Sementara saya tidak punya pekerjaan. Saya tidak tahu hendak ke mana. Selamat tinggal, Pak,” kata si gelandangan lalu pergi.
Pak Sakur terharu memandang kepergian gelandangan itu. Benar kata si gelandangan, Pak Sakur beruntung masih punya pekerjaan, meski hanya sebagai penjual kasur kapuk keliling.
Terdengar suara azan dari kejauhan. Pak Sakur meninggalkan pohon rindang itu. Ia hendak mencari masjid atau musala untuk menunaikan salat zuhur. Pak Sakur menuntun sepedanya. Ia tak mampu untuk mengayuh sepeda karena sudah tua, tenaganya sudah berkurang.
***
PAK Sakur telah berjualan kasur kapuk keliling sejak muda. Dulu, ia mampu mengayuh sepeda bermuatan kasur kapuk, menjelajahi kampung-kampung, bahkan sampai ke kota.
Dulu, Pak Sakur bisa menjual tiga kasur kapuk tiap hari, bahkan pernah sampai lima kasur terjual dalam sehari. Bila satu kasur terjual, Pak Sakur bergegas mengayuh sepedanya pulang untuk mengambil kasur lagi, lalu pergi lagi mencari pembeli. Dulu, ah, dulu begitu mudah menjual kasur kapuk.
Sekarang zaman berubah. Dalam seminggu belum tentu terjual satu kasur kapuk. Orang-orang lebih memilih membeli spring bed.
“Sudah sepuluh hari aku berkeliling, semoga hari ini ada yang membeli kasurku,” Pak Sakur berharap.
Pak Sakur berhenti di sebuah musala untuk menunaikan salat zuhur. Usai salat, Pak Sakur kembali menuntun sepedanya. Di perjalanan, Pak Sakur melintas di depan toko Mebel Hasan. Banyak spring bed di toko itu.
Seorang lelaki paruh baya berwajah Arab muncul dari dalam toko mebel itu, memanggil Pak Sakur.
“Pak Sakur. Sini, Pak!”
“Ada apa, Pak Hasan?” sahut Pak Sakur.
“Saya beli kasur kapuk Pak Sakur,” kata Pak Hasan, pemilik toko mebel.
“Bukankah di toko Pak Hasan banyak spring bed? Mengapa membeli kasur kapuk saya?” tanya Pak Sakur.
“Ibu saya yang minta. Ibu saya sudah tua, tidak bisa tidur di spring bed. Tubuhnya jadi pegal,” katanya. “Ibu saya minta dibelikan kasur kapuk,” jawab Pak Hasan.
“Oh, begitu? Silakan, Pak. Ini kasur dengan kapuk kualitas super,” sahut Pak Sakur. Ia bersyukur dagangannya laku.
Usai membeli kasur itu, Pak Hasan berkata, “Sebetulnya ada beberapa calon pembeli yang menanyakan kasur kapuk, tapi saya tak punya. Bagaimana kalau Pak Sakur berjualan kasur kapuk di sini saja?”
“Maksud Pak Hasan bagaimana?” tanya Pak Sakur.
“Saya akan menyediakan ruangan khusus untuk kasur kapuk di toko saya. Pak Sakur yang jaga. Pak Sakur tak perlu keliling kampung lagi. Bagaimana?”
“Apa saya harus menyewa ruangan di toko Pak Hasan?” tanya Pak Sakur.
“Tak perlu bayar, Pak. Gratis.”
“Serius, Pak?” tanya Pak Sakur.
“Serius. Mulai besok, ya, Pak?” sahut Pak Hasan.
“Alhamdulillah. Terima kasih, Pak. Terima kasih,” Pak Sakur mencium tangan Pak Hasan berkali-kali.
Pak Sakur segera pulang. Ia mengayuh sepedanya dengan wajah berseri-seri. Pak Sakur sudah tak sabar ingin sampai rumah, untuk mengabarkan kabar gembira ini pada istri dan anak-anaknya. (58)
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Sulistiyo Suparno
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” 8 Oktober 2017