Urbanoir.Net – Siapa yang tidak memiliki rasa sedih?
Seperti takdir sebuah ruang dalam hati diciptakan menampung rasa tersebut. menjadi bagian hidup yang kekal, dan menyatu dengan semua ruh yang terhempas dalam jasad.
Pengungkapan rasa sedih akan sangat beragam dan berbeda di setiap orang, salah satunya adalah melalui puisi sedih.
Berikut contoh puisi sedih:
Sesaat tadi sebuah banyangan masa laluku menerpa ruang otakku, dimana semua terasa alami, terasa sunyi dinikmati.
Masa-masa penuh nyata, masa-masa penuh suka cita, tiada beban, tiada angan, hanya sebuah kenangan yg begitu menakjubkan.. ALLAH..
andai saat ini ak diberikan waktu sehari, kembali kesebuah masa tiada polusi, tiada kekerasan hati, tiada korupsi, tiada tangisan diri.
Semuanya senang berlari-lari seperti layang-layang.. bermain diantara beribu tumbuhan, berjuta tanaman, diantara sawah dan ladang, berpetualang tak kenal gelap dan padang.
Semuanya terasa menyenangkan..^^
Nafas begitu lembut, senyumpun begitu takjub. diantara ribuan ilalang, dan seberbak wangi dedaunan.
Bernyanyi-nyanyi diantara ketidakjelasan, bergembira ria tanpa mengenal lelah.
Menikmati arti hidup tanpa kerasnya dunia, ALLAH.. nikmat rasanya, keringpun seakan tak bisa mencegah kekreatifitasan masa-masa itu, apapun menjadi sebuah rasa penasaran, menaiki pohon, mencari daun-daun kering, mencabuti batang-batang, dan membantu para petani panen buah2an.
Masya Allah.. hal yang tak mungkin terlupakan..
TAPI..
itu hanya hayalan sesaat, krn ibah melihat dunia, melihat gemerlap suara, polusi dimana-mana, panas yg tak terkira, hujan yg tak tw kapan datangnya..
owh.. dimana hijau belakang rumah, tanahpun sepertinya mulai lenyap, udarapun mulai senyap…
oh… SUDAH TERLANJUR HIDUP JALANI SAJA..
Dah lama banget ya kita putus komunikasi
Ga pernah lagi ada khabar lagi
Ga pernah ada lagi silaturahmi
Apalagi untuk bertemu kambali
Walaupun begitu Aa harap kamu baik2 aja
sehat dan slalu dalam lindunganAllah
itu doa yg mampu Aa mohonkan
dan hanya itu juga yg bisa Aa haturkan
Aa ga tau kamu masih inget Aa atau ngga
ya..tak mengapa jika kamu mang dah lupa
atau dah mengubur kenangan kita
memang kita sudah berbeda keadaan nya
Tapi tadi nya sih Aa ingin…..
silaturahmi itu tidak putus begitu aja
tak lekang jua di makan waktu dan usia
tetap bisa terjalin dan tersimpul erat
Namun itu hanya keinginan….
berbeda jauh dengan kenyataan
Aa tetap masih menyimpan sedikit harapan
silaturahmi itu kembali terbentangkan
Aa minta maaf sama kamu bila Aa khilaf
ataupun Aa bersikap alfa dan lupa
sekali lagi Aa mohon maaf banget
semoga pintu maaf itu masih ada buat Aa
Aa sadar banyak bikin kesalahan
maafin Aa De…………
Ade…….Aa kangen dan rindu masa itu
Aa ingin mengulang nya walau sesaat….
Jatibening,16 April 2008
[adsenseintext]
Jika saja aku punya kesempatan kembali ke masa itu
Bahkan jika hanya untuk beberapa jam bisakah?
Aku ingin kembali ke masa itu
Masa dimana aku bisa tertawa tanpa khawatir akan masa depan
Masa dimana aku bisa bermimpi di bawah hujan
Masa dimana hati ku bebas dari rasa sakit celaan
Aku merindukannya, masa itu
Jika saja aku bisa mengulang waktu
Tak kan ku sia-sia kan masa itu
Aku lelah menjadi dewasa
Terlalu banyak beban
Terlalu banyak rasa sakit
Terlalu banyak mimpi yang kandas
Aku ingin kembali
Tapi waktu adalah waktu
Dia terus berjalan maju
Dan aku hanya bisa merindukan masa itu
Dibatas penantian ini
Keraguan hati menterbuaikanku akan sebuah perjuangan
Untuk mendapatkan cinta dari seorang putri raja
Yang sudah lama menjadi kumbang dalam hidupku
Namun, diriku tak mampu meraihnya
Dia yang ku cintai
Bukanlah putri biasa
Dia wanita perkasa, kaya raya
Dan tak satupun insan berani mengasmara
Apakah diriku pantas bersanding dengannya
Sementara, diriku hanyalah insan biasa
Yang tak punya tahta dan apa-apa
Tetapi, diriku hanya punya cinta dan kasih sayang
Yang terbiasa hidup dalam kekurangan
Yang hanya berani mencintai dia dalam diam
Bunga Impian
Sudihkah kau bertanya tentang gelora
Yang mengantung dipohon asmara
Dekat hati berbunga cinta
Pagi dan siang selalu mekar
Mengkasturikan dirimu Oh..sayang
Walau hujan turun lebat menghadang
Wanginya selalu melekat tak terbasuh hujan
Sementara kau masih ragu
Menyakini perasaanku
Yang penuh ketulusan
Burung-burung cantik yang mencoba mendaki ranting bunga cinta di hati
Berkicau lembut, mencoba menerpa ragaku
Tapi,aku abaikan demi kesungguhanku padamu
Mari sini sayangku.
Aku menunggu cintamu
Mandalawangi dari Gadis Desa
Secercah sinar rasa sudah lama terbendungkan
Musim cinta dihati gelap menghujan
Gerimis jatuh tak kunjung lebat menghadang
Tetapi, semenjak dikenalkan dengan orang yang ku sayang
Aku mencurahkan pada lembaran kertas ini ku tuliskan
Sebuah ungkapan hati dan ketulusan
Tentang rasa lama ku pendam
Tanganku mengais pada sebuah lembaran
bersanding pena hitam, di depan hati kasmaran
lama sudah ku menguraikan sajak-sajak indah dikertas putih itu
seputih kanvas sutra pakaianmu wahai gadis impianku
Membuatku rindu akan bait-bait karya sastraku
Yang penuh simpati mengarah padamu
Sudah lama musim cinta menjelma dalam hidupku
Tetapi, aku simpan dan tak sediktpun tergoyahkan
Sesungguhnya aku takut untuk bicara jujur
tentang rasa yang tersamarkan dalam batinku
Aku tak mampu menebarkan sekuntum bunga cinta itu
yang terkadang membuatku gila dibuat-nya
Aku mencintaimu dengan penuh kejujuran
walaupun aku sering mengungkapkan dengan bahasa alay di depan-mu.
Mungkin lewat lembaran kusam
kau kan tau kejujuran dari hatiku yang penuh kesungguhan
Kuncup yang mekar bahkan tak mendatangkan satu pun kumbang untuk mengecup manisnya
Gelegar riuh hujan tak sedikitpun ikut menerbangkan rasa dingin yang membuat gentar
Kaki kuat melangkah semakin cepat mendekati hari beranjak gelap
Di bawah sinar seadanya aku amati kembali kemana jejak yang melenyapkan-mu pergi
Aroma basah, rumput mengeliat dan pohon separuh berbisik
Ranting berjatuhan menimbulkan bunyi langkah samar
Bulan begitu pelit menyimpan cahayanya untuk dinikmati sendiri
Bumi semakin beku, dalam sepi, menua dan renta
Tegar terus menerjang lebat pepohonan diantara tanaman pemakan mimpi ku
Kejam ku susun langkah menuju jauh
Meninggalkan tempat pembaringan
Mengikuti jejak jawaban yang kau taburkan
Bila kau tanyakan mengenai rasa sakit? Sabetan pedang tidak akan membuat darahku jatuh meski hanya satu titik sebesar gerimis
Jauh di dalam rongga di tengah dada, luka menganga mematikan ku meski aku masih bisa berlari satu mill lagi.
[artikel number=5 tag=”Motivasi” ]
Cahaya mengagetkan memotretku dari langit
Dari singgasana tertinggi tempat kaum suci mengintip hiruk pikuk di bawah sini
Hujan dan tangisan begitu sering sehingga tak lagi ku rasa istimewa
Mereka memiliki magnet tarik menarik untuk menyempurnakan tahta di antara dua
Hangat dan perlahan, lalu meluncur tanpa ampun
Seisi bumi menangis dalam haru tangisan angkasa
Gungukan tanah basah dengan taburan aneka warna
Tanah menelanmu dengan cepat seolah telah lama memendam rindu
Seperti sepasang kekasih yang mendapatkan waktu untuk menyatu
Secepat hembusan nafas kau terlihat sangat mesra dan menikmatinya
Menyuguhkan senyum, membawa berita dalam perut pertiwi adalah syurga
Seakan kesedihan antri untuk mengisi hari-hariku yang dipandang selalu ceria
Seolah mereka berlomba mempertaruhkan kata “tolong” yang akan aku ucapkan
Pulanglah dengan tertawa, dan pahamilah
Dendam atas kelahiran yang mereka tertawakan telah kau balas tanpa tersisa
Barisan batang-batang ketegaran mulai rapuh
Menggilas tanaman pencegah erosi hati tertanam ratusan tahun yang lalu
Merah menyala api angkara melunakkan angkuh yang ku pertahankan sekian lama
Masih bisa ku hirup sedikit aroma tanjung di lengan yang kau genggam sebagai salam
Bau yang halus mengetuk pintu dengan licik
Sedikit tanjung yang berpadu dengan tubuhmu menjadi panah dengan racun yang mematikan menancap
Roboh lah.. rusak lah.. hancur lah… hilang lah…
Aku bermusuhan dengan hari ini selamanya
Ketika kerajaanmu mulai mendeklarasikan kemerdekaan tanpa aku sebagai rajanya
Seolah penghianatan yang menjadikan aku buronan menjadi menang seketika
Aku membangun istana itu dan kau bertahta tanpa aku disana
Rajutan memori kiaskan kebodohan yang tidak pernah suram
Kita selamanya adalah katamu untuk menusukku mati
Lincah tak berjejak
Mencekik tanpa tenaga
Melukai tanpa terkena darah
[adsenseintext]
Sebuah masa, berlalu dan diikuti bagian lain di belakangnya
Sambung menyambung tanpa henti, membentuk pola jalinan waktu pasti
Perihku menjadi sebuah kepastian, dan saat tertawa sudah terjadwalkan
Aku menjadi pusaran rotasi,
Dengan banyak mata memberikan cambukan
Dengan banyak telinga seolah hanya menjadi saksi keburukanku
Lemah, terkulai, tak berguna
Lagu-lagu seperti menina bobokan dalam kematian yang semakin dekat
Senar gitar bergetar,dimainkan jari-jari lincah melompat dari satu kotak untuk menekan kuat
Tak dapat bergerak seolah aku lumpuh dalam ke dua kaki yang mampu berlari jauh
Tersesat di dalam sebuah rumah yang ku bangun dengan tanpa campur tangan siapapun
Mimpi buruk dunia luar hanya bisa ku intip dari celah lubang sebesar bola mata
Telah ku kurung dengan tujuh lapis perlindungan, yang justru membuatku semakin kerdil
Rapat, pemikiran yang ku bungkam diam
Tidak pernah selangkahpun meninggalkan pusat kendali menjadikannya semakin lemah
Ketidakpekaan
Aku merasa begitu membatu
Bersama satu dua yang ku biarkan keluar masuk
Berhasil aku memisahkan dengan satu dua tetangga dengan parit yang ku gali
Semakin dalam bersama ranjau yang ku kubur di dalam sana
Ketika aku tak bisa memilih suratan yang aku bawa lahir
Luka ku yang berbeda menjadikan aku berfikir hanya aku yang merasakan kesakitan
Jarak tak seberapa aku dengan mereka
Pintu yang mereka biarkan terbuka dengan ramah suara lantang menyapa
Seperti penjara yang ku ciptakan sendiri
Merasa nyaman dari dunia yang terasingkan suatu tempo saat rasa itu menangis pertama kali
Rengekan mereka tidak akan membuat aku berpindah
Jutaan anak panah yang telah ku persiapkan siap mencabik sedikit gerakan yang ku ciptakan
Mari berhitung…
Satu, dua dan berhenti di angka dua puluh empat
Masihkah tahun depan hitungan itu bertambah, atau Tuhan hanya akan mengajariku sampai di angka itu
Tidaklah cukup lautan menuliskan banyak nikmat yang Tuhan berikan
Gunung-gunung tidak akan pernah kokoh menampung sombong hamba berikan
Aku… tidak semuanya begitu, ini mengenai aku,
Tanpa pembalasan aku hanya menganggap nikmat adalah sebuah hak
Seperti keharusan bahagia harus aku terima,
Lilin ke dua puluh empat padam tanpa tiupan ku
Mati menuju gelap yang sunyi
Dalam dua puluh empat aku mulai mengerti
Hidupku tidak hanya diperuntukkan untuk ku isi cerita hanya mengenai aku
Mengenai air mata yang berhasil ku usap kering
Mengenai senyum masam yang ku jadikan semanis sakarin
Harusnya ku torehkan senyum mereka yang aku lihat
Nafas tanpa ari mencekik membuat aku mati
Bila gurun kini bisa berubah menjadi kebun
Dan parit adalah lautan yang luas kini
Sepercik api mungkin akan cukup mengosongkan isi bumi
Dan setitik harap ku mohon menjadi kenyataan tak lagi tersembunyi
Harapku tidak kau sambut dengan harapmu
Takdirku tidak kau iya kan dengan persetujuan
Seperti kuda yang terjagal aku tersungkur terkapar
Seperti tertusuk ujung tombak nadiku memancar deras
Layaknya tercekik alveolus mengecil hendak rontok
Layaknya lumpuh aku hanya bisa memandang dari jauh
Kebaikan langit menahan sebagian mereka agar tidak runtuh
Perut bumi menahan mualnya sekuat tenaga agar tidak muntah
Kebaikan, mungkin saja pelembut hati yang kaku
Memohon kebaikan menjadi penyemangat
Tegakkan tubuh doyong dalam kesedihan mendalam
Kemana arus sungai?
Ikan-ikan larut terseret
Dimana hati merindu?
Tubuh-tubuh layu jatuh terperosok
Penghiburku adalah matahari
Datang meski selalu pergi
Sabar, mengajak menghitung kehidupan
Sisi terlewat sebagian menjelang hilang
Impian telah musnah
Jiwa tua sunyi dalam derita sendiri
Terangkai jutaan baris kata maaf
Hafal, persis dampai dengan tanda baca koma dan titik
Jika aku ujian berpidato mungkin sempurna menjadi imbalannya
Bersuara lantang menyadarkan lamunan audiens yang mengantuk
Ribuan peserta akan kubungkam dengan jerit jiwa merdeka
Kini giliran rindu mendesak akal sehat untuk kocar-kacir kabur
Terbirit berlari menyesal
Untuk apa sebuah penyesalan
Hanya sebatas masa lalu tanpa keistimewaan
Biarkan mereka berkata aku adalah batu
Keras dan tidak berperasaan
Penilaian yang indah tapi tidak bijaksana
Ribuan kata maaf tertelan kesombongan
Hidupku adalah milikku
Pagar tinggi kokoh jangan kalian mencoba menerobos
Sebisa agar kita tak bersinggungan
Kesakitan abadi biarlah apa adanya
Bahkan
Untuk hati yang terluka aku tak akan membuat kalian merasa hal yang sama
Langkah kaki gemetar menapaki daerah asing
Tidak ada bangunan rumah, tidak ada keramahan
Tidak ada keluarga, tidak pula kehidupan
Basah tanah terakibat oleh rintik hujan
Aroma asri, namun tak nampak tanda keindahan
Kabut, semua gelap tak terkecuali lima langkah didepan kakiku berdiri
Tanpa kepastian kecuali mengikuti naluri dari alam
Penerangan ? apa kau sedang mengejekku
Lampu-lampu minyak bahkan tidak ada yang terlihat
Pijaran belas kasihan alam
Satu-satunya pemberi kebaikan
Untuk apa aku mau?
Untuk apa aku bersusah berjalan sendiri?
Untuk kamu aku menjari, teman untuk melangkah berdua
Tidak lagi aku menemukanmu
Dibawah sinar matahari yang terang
Ataupun atas petunjuk bulan
Beribu bis aku tumpangi untuk menujumu kembali
Banyak pesan aku kirim agar kau mau lagi mengerti
Terlambat? Itukah yang terjadi
Wujudmu yang nyata tak lagi terlihat
Suaramu yang lantang, tak lagi menyentuh gendang telinga
Dunia terbalik, apakah mungkin?
Namun bawahku sekarang adalah atasku dahulu
Goncangan dahsyat telah ku perbuat pada bumi setelah waktu itu
Ketika satu sentuhan memecahkan ringkih hati yang kau bilang tombol abadi
Hancur, begitu pun dengan engkau
Perlahan memudar seiring langkahku menjauh penuh sesal
Pencarian pada kedamaian telah lewat 1000 malam
Harapan menemukanmu di balik kesenduan kuat terjaga
Yang Tertegar
Ku hela nafas lebih dalam
karena yang jadi cuma luka
ku berlangsung lebih lambat
karena terkendala rasa kecewa
Ku tertawa tambah lebar
agar jadi penawar hati yang terkekang
ku lantunkan nada-nada syahdu
untuk sedikit menghindar emosi yang mengadu
Semangatmu lemahkan ku
turunkan obsesi dalam benak ku
sedih ini jadi tak tertahan
dan ketegaranku jadi sangsi yang tercipta
Tak perli ku ungkapkan
betapa lelahnya sebuah penantian
dan kaki ini amat jauh melangkah dalam hidupmu
lemah, gundah, tangis dan lelah
menyatu jadi air mata yang mematikan rasa
Aku pergi…
Aku pergi meninggalkanmu
Rasa ini sakit seperti tertusuk
Tetapi rasa ini mampu ku pendam
Mungkin sebenarnya itu menyakitkanmu
Tapi inilah aku…
Seorang yang takut…..
Takut membuatmu lebih sakit
Biarkanku sebentar pergi…
Dan pergi untuk kembali
[adsenseintext]
Gelombang tinggi yang mempunyai duka
Hempaskan seluruh tanpa rasa
Hujan tangis yang menggelegar
Bagai guntur yang membelah angkasa
Kisah ini…
Hujan tangis ini…
Sisakan luka pedih yang mendalam
Hancurkan jagad raya
Alam bagai murka pada mereka
Tegur mereka tanpa kasih
Akankah mereka sabar?
Akankah mereka sadar murka alam ini?
PERIH | Rahmat Kurniawan
Dukaku memuja dunia bersama indah
Lukaku memahat ukiran sejati
Biar tak seorangpun tau bahwa
aku kecewa pada kisahku
yang mempunyai perih
Apakah aku insan yang tak tau diri?
Hingga berasumsi cinta bersama hati
bukan bersama mata
Merasakan cinta bersama perasaan
bukan bersama logika
Bahkan aku hingga kehilangan akal sehat
hingga membuatku tenggelam
pada kehancuran
dan kegalauan hidup
Perih yang ku rasa seakan tak mampu kujalani
Aku patah bersama segenap sayap-sayap palsuku
Aku mati bersama segenap nyawaku yang rapuh
Tapi, tak kan ku tangisi karna inilah takdirku
Aku perlu miliki kebiasaan bersama duka
Karena luka adalah duka
Dan duka adalah aku.
Saat aku jadi menapaki sisa sementara ini
Saat aku sudah menyerah bersama penantianku sendiri
Yang aku sadar barangkali sekedar sekedar kata perpisahan
Dan itu cuma aku simpan dalam hati ini saja
Melihat senja itu tiba , merekalah saksi bisuku
Menatap kerlip bintang , merekalah yang tahu
Tentangku yang kini cuma jadi seorang pecundang
Yang serupa sekali tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan
Disisa detik yang tersedia kini
Biarkan pena ini menuliskan sajaknya
Menuliskan apa yang selama ini sudah menjadikan aku pecundang
Menggambarkan betapa beratnya bebanku
Saat aku perlu mempunyai rasa ini kemana-mana
Beratnya rasaku ini yang senantiasa aku sembunyikan dan senantiasa membawaku kedalam imajinasi yang menyakitkan
Beratnya rasaku ini yang senantiasa mengupayakan aku tenangkan sementara inginkan memberontak terlihat
Hingga kini …
Perpisahan termanis yang akan datang didepan mata ini
Dimana aku akan melihatmu disana
Melihatmu bersama jas hitam
Melihatmu bersama seulas senyum mu
Melihat tawa mu
Dengan seluruh yang mampu aku laksanakan sekedar mehana air mata
Kamulah hanya satu yang jadi alasanku
Satu-satunya yang lumayan berasal dari aku untuk menghancurkan hatiku
Terdiam merenung sendu
Ku bersenandung rindu
Terbayang perjalanan waktu
Sebuah kisah era lalu
Tiada kembali nyanyian surga
Tiada lage penghibur lara
Tiada lage damai dalam jiwa
Hanya tersedia Bintang penuh derita
Hanya tersedia Langit yang kian terluka
Seakan hendak berkata
Inilah nafas Kehidupanku