SETIAP kali Hilma hendak pulang dari rumah Nenek di Desa Pingku, Parung Panjang, Bogor, Nenek selalu memberi oleh-oleh berupa tanaman. “Ini untuk ditanam di kebun rumah,” begitu ucap Nenek.
“Tanaman di kebun rumah sudah banyak, Nek. Ibu menanam banyak bunga di kebun,” jelas Hilma.
Nenek tersenyum. “Tetapi, tanaman seperti ini belum ada di kebun rumah, bukan?”
Lagi-lagi Hilma mengangguk. Setiap kali Nenek memberikan tanaman, pasti tanaman itu memang belum ada di kebun rumah.
“Tanaman Nenek langka-langka, deh.” Hilma mengingat-ingat beberapa tanaman yang pernah Nenek berikan. Ada kumis kucing, daun jarak pagar, daun sirih, serai, daun pandan,dan daun mangkokan.
“Untuk itu, kita memang harus membudidayakan tanaman langka tersebut, Hilma. Agar tidak punah,” jelas Nenek yang kali ini memberikan tanaman lidah buaya.
“Tapi, bentuk tanaman langka tidak menarik, Nek.” Hilma menggerakkan bahu. “Tidak seperti tanaman bunga anggrek, bunga matahari, atau bunga mawar. Tanamannya berwarna-warni cerah.”
“Ya, memang seperti itu adanya,” senyum Nenek. “Tetapi, tanaman langka itu mempunyai banyak manfaat untuk macam-macam keperluan.”
Hilma mulai tertarik. “Manfaatnya untuk apa saja, Nek?”
“Lihat tanaman lidah buaya ini,” kata Nenek. “Nah! Tanaman yang memiliki daun panjang dengan daging daunnya yang tebal ini bermanfaat untuk menyuburkan rambut. Caranya daun tebalnya dibelah lalu dioleskan pada kulit rambut.”
“Wah! Asyiiik, dong. Nanti di rumah Hilma coba pakai lidah buaya agar rambut Hilma tebal,” ujar Hilma senang.
Saat Hilma sudah pulang ke rumahnya di Jakarta, Hilma baru menyadari, ternyata keluarganya selama ini sangat merasakan manfaat dari tanaman-tanaman langka pemberian nenek yang ditanam di kebun rumah.
Sekarang, Ibu tidak pernah lagi membeli obat pembasmi nyamuk. Karena tanaman serai yang ada di kebun rumah bermanfaat sebagai obat pengusir nyamuk. Ibu memotong batang-batang sereh menjadi potongan-potongan kecil, lalu ditempatkan pada mangkuk-mangkuk kecil di setiap ruangan. Hmm, ruangan menjadi aman dari nyamuk.
“Hilma, tolong ambilkan dua lembar daun pandan. Ibu mau buat bubur kacang hijau,” ujar Ibu di sore hari itu.
Hilma manggut-manggut sendiri. Untung ada tanaman daun pandan di kebun rumah. Jadi bubur kacang hijau buatan Ibu menjadi sedap beraroma daun pandan, gumamnya dalam hati.
“Lihat Kebunku….” Hilma bersenandung saat hendak memetik daun pandan di kebun rumahnya. Ia merasa kebun rumahnya terasa lebih indah. Sebab di sana, aneka tanaman hias bersanding dengan tanaman langka yang penuh manfaat.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Pupuy Hurriyah
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” rubrik Nusantara Bertutur edisi Minggu, 3 Desember 2017