Urbanoir.Net – SUATU pagi ada yang mendesak kulakukan.
Kebetulan kulihat Yaya sahabatku tengah bengong.
Kudekati dia dan segera kutarik tangannya.
Dia tampak terkejut, namun tidak menolak tarikan tanganku.
“Yaya, sini deh ikut aku,” kataku.
“Ada apa sih,Ying?” jawab Yaya agak malas-malasan.
“Kita ke tempat mading yuk,” ajakku.
Tanpa menunggu kesediaannya, tangan Yaya kubawa menuju mading.
Aku dan Yaya berjalan menuju mading .
Di tempat mading, aku berkata “Baca saja.”
“Lomba olahraga, siapa ikut mendapat hadiah,” kata Yaya, membaca judul mading itu.
“Ikut saja, aku ikut lomba bersepeda,” kataku.
Aku ikut lomba lari aja, kita mendaftar di mana?” kata Yaya.
“Bu Mila ke sana yuk,” kataku, kami berjalan menuju kantor.
“Assalamualaikum, boleh bertemu dengan Bu Mila?” kata kami serempak.
“Wa ‘alaikum salam, Bu Mila ada, silakan masuk,” kata Pak Totok, yang berjaga di ruangan.
Kami pun masuk di ruangan Bu Mila.
“Permisi, Bu, maaf mengganggu Bu Mila,” kata Yaya sopan.
“Tidak apa-apa, ada apa ke sini?” tanya bu Mila.
“Kami mau mendaftar lomba olahraga,” kataku.
“Wah banyak sekali yang ikut, lomba apa kalian?” kata Bu Mila.
“Saya lomba lari,” kataku.
“Saya lomba bersepeda,” kata Liya.
Bu Mila mencatat daftar lomba kami.
“Oke, boleh juga. Jangan lupa besok sore kalian ke sekolah untuk latihan,” kata Bu Mila.
“Iya Bu,” kata kami serempak.
“Ting..tong..ting..tong,” bel rumah Yaya berbunyi.
“Liya.. Ayo cepat nanti kita terlambat,” teriakku dari bawah.
“Iya, tunggu sebentar, Ying,” teriak Yaya dari jendela.
Beberapa menit kemudian.
“Berangkat yuk,” kata Yaya.
“Dasar, lama sekali,” kataku.
Kami mengayuh sepeda dengan cepat.
Ternyata sebagian besar temanku sudah datang.
Untung seleksi belum mulai.
Terlambat sedikit saja bisa dipastikan aku tak boleh ikut seleksi.
Aku pun segera menghambur besama mereka ikut pemanasan.
Berolahraga tanpa pemanasan hanya akan mengundang bencana.
Setelah pemanasan cukup, inilah saat yang mendebarkan, kami diuji kecepatan belari.
“Ternyata ada rintangan, rintangan meloncat,” kataku.
[artikel number=5 tag=”Motivasi” ]
Aku mulai melewati rintangan itu dengan cepat. Sampai-sampai Pak Bobo tidak mengedipkan mata.
Aku tambah cepat berlari, dan aku sampai di garis finish terlebih dahulu.
“Ying, selamat kau mewakili lomba lari,” kata Pak Bobo.
“Ying, kau hebat,” puji Boboiboy.
“Tulalit..tulalit…” Bunyi telepon genggam pak Bobo berbunyi.
“Assalamualaikum,” salam Pak Bobo.
“Pak, ini saya Bu Mila. Anak-anak tidak jadi lomba karena Bupati yang menyaksikan pergi ke Laos, mohon anak-anak diberitahu,” kata Bu Mila dari seberang sana.
“Iya, Bu, akan saya sampaikan,” kata Pak Bobo.
“Terima kasih Pak, Assalamualaikum,” kata Bu Mila.
“Waalaikumsalam,” kata Pak Bobo.
Dia lalu memasukkan telepon genggamnya ke saku.
“Mohon maaf anak-anak, lomba dibatalkan karena Bupati yang menyaksikan pergi ke Laos, sekarang kalian boleh pulang,” kata Pak Bobo.
Semua anak mengeluh dan marah.
Wajah-wajah kecewa terlihat jelas di muka mereka.
Perasan keringat mereka seperti tidak terbalas.
Rasa capai mereka seperti tak berbekas.
“Fang, Boboiboy, Yaya, nanti ke rumahku,” kataku, sekadar untuk mengobati kekesalan.
“Oke,Ying,” kata mereka.
***
DI rumah.
“Nah, tadi kan Pak Bobo bilang kalau lomba dibatalkan.
Semua anak mengeluh.
Bagaimana kalau kita membuat kue Olimpiade?” kataku.
“Boleh,” kata Boboiboy.
“Terserah kalian,” kata Fang.
“Aku dan Yaya akan membuat kue, sedangkan kalian berdua menghias kue itu, misalnya lomba basket hiasannya ada gambar bola basket,” kataku memberi pengarahan.
“Oke, kita mulai sekarang,” kata Yaya.
Kemudian, Aku dan Yaya menuju dapur untuk memasak.
Beberapa menit kemudian, “Kue sudah matang,” teriak Yaya.
Mendengar teriakan Yaya, Fang dan Boboiboy menghampiri Yaya.
“Sekarang kerjakan tugas kalian,” kataku dan Yaya.
“Siap,” kata mereka serempak. Aku pun berjalan menuju kamarku untuk mengambil kartu ucapan.
“Orangnya 15, kartu ucapannya 18, tak apalah,” kataku.
Aku menulis surat di dalam kartu ucapan.
“Ying, ayo antarkan kuenya,” teriak Yaya.
“Iya tunggu sebentar,” kataku.
Aku pun turun melewati tangga dan memakai sandal.
Kami berbagi tugas mengantarkan kue itu.
beberapa menit kemudian, “Akhirnya,” kata Fang.
“Kayaknya ada SMS,” kataku.
Aku membuka pesan di telepon genggam dan membacanya: Hai, jangan bersedih hati, ya.
Menurutku sekolahmu hebat. Kamu bisa ikut lomba lainnya.
“Terima kasih, kuenya enak, aku tidak akan bersedih lagi,” kataku.
“Sudah nggak bersedih lagi,” kata Fang.
“Menyenangkan hati orang akan mendapat pahala,” kata kami serempak. (58)