RUMAH Tian berdekatan dengan areal persawahan. Sore hari sepulang sekolah ia bermain bersama temannya, Bintang. Mereka saling berkejaran mencari katak di pematang sawah. Saat sedang sibuk menangkap katak , Tian menemukan sederet jamur yang tumbuh di tepi pematang sawah.
“Bintang, sini ! Aku nemu jamur,” seru Tian heboh.
“Wah, jamurnya gede-gede, ya. Ayo kita petik. Kita bawa pulang buat dimasak.” Bintang tak kalah antusias.
Kedua anak itu bersemangat memetik jamur, lalu membaginya dengan adil. Tian jadi teringat saat dulu masih tinggal bersama Si Mbok di Salatiga. Sepulang bertani, kadang Si Mbok membawakan jamur segar dari sawah lalu mengolahnya menjadi lauk yang lezat. Tian makan dengan lahap. Setelah lulus TK, Tian ikut mama papanya ke Cikarang dan melanjutkan sekolah di sana. Terbayang aroma sedapnya tumis jamur, seperti buatan Si Mbok, Tian bergegas mengajak Bintang pulang.
“Hey, itu kalian bawa jamur dari mana?” selidik Bu Carwita, tetangga Tian yang sedang mengobrol dengan Bu Tri di teras rumah.
“Dari sawah, Bu,” jawab Bintang jujur.
“Hati-hati takutnya itu jamur beracun,” tegur Bu Carwita.
Bu Carwita dan Bu Tri kembali melanjutkan obrolan yang sempat tertunda. Setelah melihat kedua anak itu, kini topik obrolan mereka beralih membahas harga jamur di pasar. Setiba di rumah, Bintang lekas membuang jamur itu. Namun Tian yang terus melangkah salah memahami obrolan Bu Carwita dan Bu Tri. Dalam pendengarannya, Tian mengira Bu Carwita bilang jamur dimasak. Dengan bangga Tian menunjukkan jamur yang didapatkannya pada Sang Mama.
“Kamu dapat dari mana? Hati-hati ada jamur yang beracun, loh,” balas Mama mengingatkan.
“Gak kok, Ma. Tadi Bu Carwita bilang ini jamur bisa dimasak,” kilah Tian.
Mama Tian yang semula khawatir jadi langsung percaya setelah Tian bilang jamur tersebut tidak beracun menurut Bu Carwita. Berbeda dengan di desa, orang-orang kota seperti Mama Tian kesulitan membedakan jamur yang bisa dimakan dengan jamur beracun. Tian merengek agar jamur itu segera dimasak. Sang Mama mengiyakan dengan syarat Tian harus segera mandi.
Saat menyiangi jamur sebenarnya Mama Tian sudah curiga itu jamur beracun. Jamur-jamur tersebut berukuran lebih besar dari biasanya, juga terdapat bercak hitam di bawah sela-sela bawah payungnya. Namun Mama Tian tetap melanjutkan kegiatan memasak.
“Sudah selesai belum mandinya? Ini tumis jamurnya sudah matang,” seru Mama Tian seraya menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan oseng jamur untuk Tian.
Rasa lapar membuat Tian lekas menghabiskan makanannya. Melihat si bungsu Azmya, adik Tian yang masih balita sedang tidur, Sang Mama ikut menemani Tian makan. Hari beranjak petang. Usai salat magrib di masjid, Tian kembali bermain dengan teman-temannya.
Di rumah, Mama Tian merasa tak enak badan. Kepalanya mendadak terasa berat disertai mual muntah. Perlahan pusing dan mual muntahnya semakin menjadi. Sementara Papa Tian sedang bekerja sif sore dan baru akan pulang tengah malam.
Untunglah Tante Dewi dan Tante Fitri, tetangga rumah cepat tanggap setelah Mama Tian menanyakan perihal keluhannya lewat SMS. Mereka datang membawakan sebutir kelapa hijau untuk menetralkan racun.
Sepulang bermain, Tian mengeluh perutnya t e r a s a m u a l . Tiba-tiba ia berlari ke toilet dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Begitu pun Mama Tian. Usai meminum air kelapa, rasa mualnya semakin bertambah. Tian dan Sang Mama berebut ke toilet untuk muntah. Tante Dewi dan Tante Fitri merasa geli sekaligus iba melihatnya.
“Ayo kuantar ke klinik, Tante,” ucap Tante Fitri menawarkan pertolongan.
“Coba telepon Papa Tian, Tante. Suruh cepat pulang. Muka Tante sama Tian sudah pucat begitu.” Tante Dewi mulai kuatir.
Setengah jam kemudian Papa Tian baru tiba di rumah. Ia bergegas membawa Tian dan mamanya menuju rumah sakit terdekat. Malam itu juga mereka dilarikan ke UGD. Sementara Azmya dititipkan di rumah Tante Dewi.
Tian meronta ketakutan saat dokter hendak memasang jarum infus. Ia masih trauma karena sebelumnya pernah dirawat di rumah sakit ketika terserang tifus. Dokteri kewalahan hingga dibantu perawat dan Papa Tian agar anak itu bisa tenang. Tiga hari kemudian Tian dan mamanya baru dinyatakan sembuh.
“Mama, maafin aku, ya. Gara-gara aku, Mama jadi ikutan keracunan. Sekarang aku kapok makan jamur,” ucap Tian menyesal ketika mereka kembali ke rumah.
“Hus, gak boleh bilang gitu! Makanya lain kali kalau ditegur orang lain jangan cuma dengar setengah-setengah, ya. Kalau begini kan kamu kayak menuduh Bu Carwita. Padahal kamu yang salah dengar. Kasihan juga Dik Mya jadi dititipkan dan merepotkan tetangga,” nasihat Sang Mama panjang lebar usai mendengar penjelasan dari Bu Carwita.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Arinhi Nursecha [2] Pernah tersiar di surat kabar “Lampung Post” edisi Sabtu, 21 April 2018