Di sebuah dusun, hiduplah seorang ayah dengan tiga putranya. Suatu hari sang Ayah jatuh sakit. Ia lalu memanggil ketiga anaknya untuk menyampaikan warisannya.
Kepada Si Sulung dan Si Tengah, ia mewariskan sebidang tanah yang luas. Namun untuk Si Bungsu, ia hanya meninggalkan seekor anak kambing yang baru berumur beberapa minggu.
“Bungsu, rawatlah anak kambing ini baik-baik. Pesanku, apa pun yang terjadi, kau tidak boleh menjualnya! Hidup rukunlah kalian bertiga…” Selesai menyampaikan pesannya, meninggallah sang ayah.
Si Sulung dan Si Tengah merasa gembira mendapat warisan sebidang tanah subur yang luas. Mereka tidak menghiraukan adiknya yang hanya mendapat warisan seekor anak kambing. Walaupun dalam hati bertanya-tanya, Si Bungsu tetap berusaha memelihara anak kambing tersebut dengan baik.
Hari berganti hari. Tidak terasa dua tahun berlalu sudah. Anak kambing itu tumbuh menjadi seekor kambing jantan yang sehat dan gemuk. Yang mengherankan, bulu kambing tersebut berubah menjadi keemasan. Tetapi sayangnya, Si Bungsu ternyata buta warna. Ia tidak bisa membedakan yang mana kambing emas itu berada di antara kambing-kambing yang lain. Meskipun demikian, ia bisa mengenal suara dan bau kambingnya.
Kedua saudaranya merasa iri melihat keberuntungan Si Bungsu. Dengan berbagai cara Mereka berusaha mengambil dan memiliki kambing emas itu.
“Bungsu, bagaimana kalau kambingmu aku beli dengan harga tinggi?” Tanya Si Sulung.
“Tidak, Kak, maaf. Sesuai pesan Ayah, aku tidak akan menjualnya.” Jawab Si Bungsu.
“Lima juta, aku bayar tunai!” Sulung memaksa.
“Tetap tidak. Kemarin ada yang menawar sepuluh juta pun tak kuberikan!” tolak Bungsu.
“Bagaimana kalau kutukar dengan sebidang tanah?” tawar Si Tengah tak mau kalah.
“Tidak, Kak, aku tidak akan mengecewakan mendiang Ayah.”
Si Sulung dan Si Tengah geram dan marah mendengar jawaban Bungsu. Mereka berusaha mencari akal dengan menggunakan kelemahan Si Bungsu.
“Kak, bagaimana kalau kambing emas itu kita tukar dengan kambing lain? Bungsu ‘kan, tidak bisa membedakan mana kambing miliknya!” usul Si Tengah.
“Usul yang bagus! Kalau hari gelap kita jalankan rencana ini.”
Petang harinya, keduanya benar-benar menjalankan rencana itu. Ketika Mereka telah berhasil memasukkan seekor kambing putih dan mengeluarkan kambing emas dari kandangnya, tiba-tiba kambing emas mengembik, “Mbeek…”
Mendengar kambingnya mengembik, Bungsu bergegas ke kandang. Ia heran melihat kedua kakaknya malam-malam ada di situ.
“Lo, ada apa, Kak? Malam-malam kok ada di sini? Kambingku mau dibawa ke mana?”
“Ini bukan kambingmu! Tuh, kambingmu ada di kandang!” tunjuk si Sulung.
“Tidak, ini kambingku, aku hapal suaranya!”
Mereka bertiga bertengkar. Akhirnya Bungsu berkata, “Bagaimana kalau kita menghadap Raja untuk mencari keadilan dan kebenaran?”
“Baik, kalau itu maumu!” sahut kedua kakaknya serempak.
Mereka bertiga berangkat ke istana. Sesampainya di istana, Bungsu mengutarakan maksud kedatangannya.
“Bungsu, kau akan mendapatkan kambing emasmu kembali, jika kau benar-benar bisa membedakan mana kambingmu dari kedua kambing ini. Tapi jika gagal kau akan dihukum. Sebaliknya, jika Bungsu berhasil, Sulung dan Tengah harus menyerahkan seluruh hartanya pada Si Bungsu, karena telah berusaha untuk menipu saudara sendiri! Bagaimana, kalian setuju?” Tanya Raja.
“Baik, Paduka!” Sulung dan Tengah bersorak dalam hati. Mereka pikir Si Bungsu tidak akan berhasil membedakan kedua kambing tersebut.
“Paduka, hamba memang tidak bisa membedakan warna kedua kambing ini. Tapi hamba hapal suara dan bau kambing hamba,” sembah Si Bungsu.
“Kalau begitu coba tunjuk yang mana kambingmu!” perintah Sang Raja.
Bungsu berjalan menghampiri kedua kambing tersebut, dibauinya satu persatu. Ia lalu berseru, “Cantik… cantik… perdengarkan suaramu!”
Mendengar namanya dipanggil Si Bungsu, kambing emas itu pun mengembik, “Mbeeek… mbeeek…”
“Nah, yang ini kambing hamba, Paduka,” kata Si Bungsu sambil memegang kambingnya.
Sesuai janji, Raja memberikan kambing emas itu pada Si Bungsu. Ia juga memerintahkan Si Sulung dan Si Tengah untuk menyerahkan seluruh hartanya pada Si Bungsu.