Dahulu kala, gajah di muka bumi ini tidak memiliki belalai. Bentuk hidungnya memang agak panjang dan bisa digerakkan ke kiri ke kanan. Namun tidak dapat digunakan untuk mengambil sesuatu.
Jacko, seekor gajah kecil, selalu sangat ingin tahu tentang apa yang dilihat, didengar, dirasa, dicium atau dirabanya. Pernah ia bertanya pada Paman Jerapah mengapa kulitnya berbintik-bintik. Tentu saja jerapah marah dan menendang pantat Jacko keras-keras.
Keesokan harinya, ia menghampiri singa dan bertanya, “Paman Singa, kenapa buah melon rasanya segaaar sekali?” Singa menjadi kesal, dan memukul Jacko kuat-kuat dengan cakarnya yang tajam.
Kali ini Jacko menjumpai Bibi Kuda Nil dan menanyakan mengapa matanya merah. Kuda Nil langsung memarahi Jacko, “Itu bukan urusanmu, anak cerewet! Pergi dari dini!”
Anehnya si Jacko tidak pernah jera untuk bertanya. Suatu hari, ia sibuk mencari tahu pada setiap binatang yang ditemuinya tentang apa yang disantap buaya saat makan malam. “Husss… usil amat sih kamu!” jawab mereka marah.
Di tengah hutan yang lebat, Jacko bertemu dengan burung Kolokolo. Ia lalu mengadu, “Ayah dan Ibuku memarahiku. Semua paman dan bibiku marah karena keingintahuanku. Tapi aku masih penasaran dan ingin tahu apa yang disantap buaya di malam hari!”
Dengan sabar burung Kolokolo berkata, “Pergilah ke tepi sungai Limpopo dan temuilah buaya di sana!”
Maka pergilah Jacko menuju sungai Limpopo. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat buaya. Namun tekadnya sudah bulat untuk bertanya langsung pada buaya.
Sesampainya di tepi sungai, ia melihat sebatang kayu terapung. Namun ia agak heran saat melihat batang kayu itu mengedipkan sebelah matanya.
“Selamat siang,” sapa Jacko sopan sekali. “Apakah Paman mengenal buaya yang tinggal di sungai Limpopo ini?”
Jacko sangat gembira dan berkata, “Oh… pamanlah yang selama ini kucari-cari. Maaf Paman, tolonglah katakanlah padaku. Apa yang Paman santap saat makan malam?”
“Mendekatlah anak manis,” sahut buaya. “Akan kubisikkan padamu.”
Jacko mendekatkan kepalanya, dan dalam sekejap taring-taring buaya sudah menancap di hidung Jacko. “Kupikir, hari ini aku akan menyantap anak gajah,” geram buaya dengan kedua rahang penuh taring mencengkeram.
“Lepaskan aku buaya jahat!” teriak Jacko. Ia lalu berusaha manarik hidungnya sekuat tenaga. Namun buaya pun tak mau kalah. Ia pun menarik dan terus menarik hidung Jacko. Setiap tarikan, hidung Jacko bertambah panjang. Namun akhirnya si gajah kecil yang pemberani itu berhasil menarik kuat-kuat hidungnya sehingga terlepas dari cengkeraman buaya.
Lalu Jacko membungkus hidungnya yang telah memanjang itu dengan daun pisang dan mendinginkannya dengan air. Selama tiga hari tiga malam ia berharap hidungnya dapat kembali seperti semula. Namun tidak berhasil. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang.
Ketika bertemu seluruh keluarga dan sahabatnya, mereka terkejut dan bertanya, “Hai, Jacko, kau apakan hidungmu?” Dengan tenang Jacko menjawab,
“Aku diberi hidung baru oleh Paman Buaya dari Sungai Limpopo. Aku bertanya padanya apa yang disantapnya saat makan malam dan dia menghadiahiku hidung ini.”
“Ikh, jelek sekali!” ejek Paman Singa.
“Memang,” sahut Jacko. “Tapi benar –benar sangat berguna!” Lalu ia memetik buah-buahan di pohon. Selama ini Jacko memang hanya bisa menikmati buah yang sudah jatuh ke tanah. Jacko juga memamerkan kepandaiannya mandi dengan menyemprotkan air dari belalainya. Hmmm, satu lagi. Jacko juga menunjukkan cara menggunakan belalainya untuk menampar musuh saat membela diri.
Seluruh keluarga gajah amat kagum akan kegunaan belalai Jacko yang penjang. Akhirnya satu persatu keluarga gajah bergegas menuju sungai Limpopo. Mereka pun ingin “meminta hidung baru” pada buaya.
Sejak saat itu, semua gajah memiliki belalai panjang persis seperti belalai Jacko.