Dulu di tanah Batak ada seorang raja bernama Datu Parngongo. Dia sangat dicintai rakyatnya dan disegani teman-temannya.
Datu Parngongo mempunyai seorang anak laki-laki bernama Poda. Dia sangat saying kepada anaknya itu.
Suatu hari Poda menyampaikan keinginannya untuk menjadi raja.
Karena rasa sayang kepada anaknya, Datu Parngongo memutuskan untuk mengabulkan permintaan itu. Dia pergi ke suatu tempat untuk menyepi. Hanya Marhati, pembantunya yang setia, yang tahu ke mana dia pergi.
Sepeninggal ayahnya, Poda mengangkat dirinya menjadi raja. Berbeda dengan Datu Parngongo, Poda memerintah dengan sewenang-wenang.
Poda juga sering menyuruh tentaranya menjarah harta milik rakyat di negeri tetangga. Akibatnya Raja Losung, raja negeri itu menjadi marah. Dia memanggil raja-raja yang ada di sekitarnya untuk berunding. Lalu mereka sepakat untuk mengundang Poda datang ke negerinya untuk berjudi. Dengan senang hati Poda memenuhi undangan itu. Dibawanya tiga kantong emas untuk taruhan. Marhati juga diajaknya untuk menemani.
Acara diadakan di ruang balairung. Raja Losung mengeluarkan sekantung emas. Poda menuang sekantung uang emas di atas tumpukan emas itu, lalu dadu pun dilempar. Taruhan pertama Poda kalah. Juga pada taruhan yang kedua dan ketiga. Akhirnya Poda tidak mempunyai emas lagi untuk dipertaruhkan. Tetapi karena sombong, Poda tidak mau mundur dari pertaruhan.
“Ku pertaruhkan istana dan tanah pusaka milik kerajaan!” serunya.
Marhati terkejut mendengarnya. Dia menatap Poda dengan cemas. Tetapi anak itu kelihatan sudah tidak peduli dengan nasihat.
Seperti sudah diduga, Poda kalah dalam taruhannya yang terakhir. Kini dia tidak punya apa-apa lagi.
“Semua taruhanmu akan kukembalikan, asal kau sanggup menjawab dua pertanyaan yang akan kuajukan,” kata Raja Losung.
Raja Losung mengambil sebuah alu, alat untuk menumbuk padi.
“Ini pertanyaan pertama,” kata Raja Losung. “Coba kau tunjukkan mana ujung dan mana pangkal dari alu ini.”
Kemudian Raja Losung mengeluarkan sebuah kotak kecil.
“Ini pertanyaan kedua. Di dalam kotak ini ada sepasang semut. Coba tunjukkan mana semut jantan dan mana semut betina.
Nah, kuberi waktu satu jam untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu!” kata Raja Losung.
Lalu gong dipukul, sebagai tanda waktu mulai dihitung.
Poda mengamati kayu bulat dan sepasang semut itu, tetapi dia tidak bisa membedakannya.
Marhati segera meninggalkan tempat itu menuju ke tempat Datu Parngongo menyepi. Diceritakannya kemelut yang sedang dihadapi Poda.
“Pergilah sebelum waktunya habis,” kata Datu Parngongo.
Marhati segera memacu kudanya kembali ke arena taruhan. Segera Marhati mendekati Poda.
“Bagaimana?” Tanya Raja Losung. “Apa jawabanmu?” kali ini wajah Poda tidak lagi cemas seperti sebelumnya.
Dengan tenang dia maju ke depan. Diambilnya alu itu, dibawanya ke sungai yang mengalir di dekat istana. Pelan-pelan ditaruhnya alu itu ke dalam air.
“Yang tenggelam lebih dulu, itulah pangkalnya. Karena usianya lebih tua daripada ujungnya, maka dia akan lebih berat.” Sahutnya.
“Bagus!” seru Raja Losung. “Jawabanmu benar. Bagaimana dengan pertanyaan kedua!” seru Raja Losung mengatasi sorak-sorai penonton.
Poda mengambil kotak kecil itu. Kemudian dia minta dibawakan kuali berisi air. Ditaruhnya semut itu ke dalam kuali. Begitu menyentuh air, seekor semut berusaha berenang ke tepi untuk menyelamatkan diri. Sementara semut yang lain pelan-pelan tenggelam di dalam air.
“Semut yang berenang ke pinggir itu semut yang jantan. Karena dia lebih berani dan lebih kuat. Sedang yang tenggelam itu semut betina,” jawab Poda.
Wow! Semua yang hadir mendecak kagum. Mereka tidak menyangka Poda bisa menjawab pertanyaan yang sulit itu.
“Ternyata kau seorang anak muda yang cerdik,” kata Raja Losung kagum.
“Sebetulnya aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu,” sahut Poda terus terang. “Marhati yang membisikkan jawabannya kepadaku.”
“Bukan aku!” sahut Marhati dengan suara keras. “Tapi Datu Parngongo. Dia yang member tahukan jawabannya kepadaku.”
Poda menjadi malu dengan tingkah lakunya selama ini. Diajaknya Marhati menemui ayahnya.
“Ayah,” katanya. “Kembalilah ke istana. Sekarang aku sadar kalau aku belum bisa menjadi seorang pemimpin.”
Datu Parngongo menolak ajakan Poda untuk kembali ke istana.
“Ayah percaya, mulai saat ini kau akan menjadi pemimpin yang baik. Marhati akan mendampingimu sebagai penasihat,” kata Datu Parngongo sambil menepuk pundak Poda dengan sayang.
Sejak saat itu Poda berusaha menjadi seorang pemimpin yang baik. Sehingga akhirnya dia menjadi raja yang dicintai rakyatnya dan disegani raja-raja lain.