Cerpen : Anak Wali Kota

Hari ini Reza datang terlambat, padahal bel tanda masuk sudah lama berbunyi.
Pelajaran pun sudah dimulai sejak tadi.
Dengan santai Reza berjalan masuk kela stanpa mengetuk pintu, mengucap salam, ataupun meminta izin duduk.
Reza berjalan menuju bangkunya.

”Reza, mengapa tidak mengetuk pintu atau mengucap salam?” tegur Pak Guru melihat Reza yang langsung nyelonong masuk kelas saja.

”Memangnya kenapa?” tanya Reza balik dengan sikap menantang.

”Harusnya kamu mengetuk pintu dan mengucapkan salam dulu sebelum masuk kelas,” jawab Pak Guru dengan sabar.

Anak Wali Kota

Bapak ingin saya hormati? Emang Bapak ini siapa? Bapak tidak kenal saya? Saya ini anak walikota.
Jadi saya bebas melakukan apa saja yang saya mau!” ucap Reza dengan congkaknya.

Pak Guru, yang termasuk guru baru di sekolah ini, menghela nafas dan memilih diam daripada terjadi ribut-ribut di kelas.
Pak Guru tidak mau timbul masalah.
Pak Guru adalah guru baru, jika timbul masalah dengan anak wali kota ini, bisa-bisa dirinya akan dipecat.
Dan Reza dengan angkuhnya duduk, namun tidak mau mengikuti pelajaran dengan serius.
Bahkan Reza menolak mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan oleh Pak Guru.

Saat istirahat, Reza ingin jajan di kantin. Rupanya antrean anak-anak yang ingin jajan sudah banyak.
Dan seharusnya Reza juga harus mengantre. Namun…

”Hei! Minggir!” Reza mendorong seorang anak yang sedang mengantre paling depan hingga anak itu terjatuh.
”Reza, apa-apaan, sih? Antre, dong! Jangan main dorong saja!” seorang anak menegurnya.

Baca Juga: Radio Kakek

”Eh, kamu berani, ya? Kamu tidak tahu siapa aku? Aku ini anak wali kota.
Jadi kamu jangan berani macam-macam, ya!” kata Reza marah-marah.

Dia tidak menyangka ada yang berani sama dirinya.
Padahal dia kan anak wali kota.

 

[artikel number=5 tag=”Cerpen” ]

 

Sambil mengangkat dagunya, Reza melangkah meninggalkan anak-anak lain yang menggerutu.”Minggir!”

Lagi-lagi Reza yang sedang kesal karena ada seorang anak yang berani melawannya di kantin tadi, menyeruak mendorong anak-anak yang ada di pintu kelas karena dia ingin masuk ke kelas.
Tentu saja ini membuat anak-anak lain marah-marah.
Tapi lagi-lagi Reza menyombongkan diri karena dirinya anak seprang wali kota yang membuat anak-anak lain langsung terdiam.

***
”HEI! Pak Wali Kota datang!”

Seru anak-anak ketika melihat Pak Wali Kota berjalan memasuki ruangan kepala sekolah.

”Nah, ayahku datang.
Kalian akan tahu sendiri akibatnya, karena selama ini kalian berani sama aku,” Reza tertawa penuh kemenangan.

Tak lama kemudian, Ibu Guru memanggil Reza karena ditunggu Bapak Kepala Sekolah dan Bapak Wali Kota.
Dengan langkah mantap dan tersenyum bangga, Reza berjalan menuju ruang kepala sekolah.
Dia merasa bahwa ini adalah saatnya mengadukan pada ayahnya tentang sikap teman-temannya selama ini.

Di ruang kepala sekolah, tampak Bapak Kepala Sekolah, Bapak Wali Kota, dan Pak Guru sudah menunggu.
”Ayah! Akhirnya ayah datang juga. Lihat! Semua bersikap seenaknya sendiri pada Reza…”

Reza langsung mengadu.
Bapak Kepala Sekolah dan Pak Guru langsung melotot.

Baca Juga: Buah Beracun

”Reza, Ayah sudah tahu semua yang terjadi.
Kamu seharusnya tidak boleh bersikap seperti itu.
Kamu memang anak wali kota, tapi bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya sendiri.
Kamu tetap harus disiplin dan sopan. Ingat itu!” kata Bapak Wali Kota panjang lebar.

Reza hanya bisa menunduk.

 

[adsenseintext]

Baca Juga: Memilih Pintu

 

”Sekarang kamu harus minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi!” perintah Bapak WaliKota.

”Tapi, Yah…” Reza sudah ma protes.
Tapi melihat tatapan tajam dari ayahnya, akhirnya Reza meminta maaf kepada Bapak Kepala Sekolah dan Bapak Guru, serta berjanji akan mengubah sikapnya menjadi lebih baik.
Dan dia juga akan meminta maaf kepada teman-temannya. Dia tidak akan bersikap sombong lagi terhadap teman-temannya.

Rujukan:  

[1] Disalin dari karya Fery Yanni
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” 3 Desember 2017

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ