Anak Pantai Utara

NAMAKU Lain. Usia sembilan tahun. Kelas III sekolah dasar Waledan. Rumahku di ujung semenanjung Indramayu yang tinggal belasan meter lagi tergulung ombak lautan. Jarak sekolah dengan rumahku berjauhan. Jika berjalan kaki perlu waktu satu jam perjalanan. Jika bersepeda lebih cepat dari berjalan. Jika ditempuh dengan motor, akan mengalahkan keduanya bersamaan.
Kami berasal dari keluarga nelayan miskin yang terbiasa hidup pas-pasan. Ayahku pergi melaut pada waktu dini hari sebelum subuh dan pulang saban petang membawa hasil tangkapan ikan dan dijual di pelelangan. Ibuku buruh cucian juragan-juragan nelayan yang membayar upah dengan asal-asalan. Jika laut sedang ribut di musim hujan, ayah tak melaut dan mengisi waktunya dengan memperbaiki jaring ataupun membuat perangkap ikan.
Sebenarnya di rumah masih ada dua adikku yang sering ditinggalkan bila ayah dan ibu sibuk dengan pekerjaan. Mereka sebenarnya masih ingusan. Lilin berusia lima tahun dan Lais berumur tiga tahun. Keduanya perempuan, lucu, dan menggemaskan. Karena itu, sering kali setiap bel istirahat berdentang dengan lintang pukang saya melarikan sepeda menerabas jalan dan angin untuk pulang menengok mereka yang tiap kali aku datang tengah bermain ayunan di bawah pohon asam di depan halaman.
“Kakak Lain datang.” Dengan wajah riang Lilin dan Lais turun dari ayunan menghambur berebut lenganku.
“Apa kalian sudah makan?” tanyaku memastikan kalau keduanya tidak terlambat makan untuk masa pertumbuhan dan perkembangannya.
“Sudah Kak, beberapa potong singkong rebus dan sedikit gula pasir,” jawab keduanya tanpa ada kesedihan yang perlu ditangiskan.
“Kalau begitu, kalian lanjutkan mainnya. Jangan jauh-jauh dari halaman. Mungkin ibu masih dalam perjalanan,” pesanku.
Setelah masuk ke dalam rumah dan meminum beberapa teguk air gentong dari gayung yang terbuat dari tempurung kelapa yang diberi gagang kayu di tangan, aku pun kembali ke sekolah agar tak ketinggalan saat lonceng masuk dibunyikan. Dari kejauhan Lilin dan Lais melambai-lambaikan tangan. Aku terharu menyaksikan. Dengan terpontal- pontal kupegang stang sepeda onthel bututku kuat-kuat dan kukayuh pedalnya sambil terus menekannya agar terus berjalan. Begitulah karena memang kakiku masih terlalu pendek untuk menjangkaunya, sehingga sadel yang kunaiki goyang ke kiri dan ke kanan untuk mempertahankan keseimbangan laju kecepatan. Aku pun memanfaatkan gaya sentrifugal untuk menghindari gaya gravitasi agar tak jatuh di jalan.
***
SEKOLAHKU adalah sekolah orang miskin. Jumlah muridnya dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Saat kelas satu dan kelas dua jumlahnya puluhan, di kelas tiga dan empat hitungannya menjadi belasan. Tetapi di kelas lima dan enam bilangannya menjadi satuan. Ini tidak lain tidak bukan karena anak-anak nelayan seringnya belum sampai ujian sudah diajak membantu ayah-ayahnya untuk mencari ikan guna menambah tangkapan dan penghasilan. Entah dengan nasibku, mungkin di kelas lima atau enam akan ikutan dengan anak-anak yang lain. Putus sekolah lebih duluan.
Bila musim tangkapan sedang baik, biasanya ditandai dengan turunnya awan sisik di langit di bulan-bulan di mana angin selatan bertiup pelan. Petani padi mengetam hasil panen, orang-orang mulai hajatan, dari khitan sampai pernikahan. Pasar malam sepekan tak putus-putus memanjang di tepian jalan. Ayah dan ibu mengajak anak-anaknya untuk menikmati berbagai hiburan masyarakat pantai utara. Menonton tarian, melihat permainan catur tiga langkah mati dengan hadiah satu baskom telur asin, membeli martabak, kembang gula, dan yang selalu dinanti adalah ketika ayah dan ibu mengajak kami ke penjual baju di ujung tikungan itu.
Betapa gagahnya ayah, menggandeng adik-adikku sementara aku dan ibu berjalan di belakangnya mengikuti dengan hati berdebaran. Di depan gerobak yang berisi tumpukkan pakaian dan berpuluh-puluh lainnya di gantung membuat mataku segera menjelajah bagian pakaian yang sesuai usiaku.
Ibu menyentuh-nyentuhkan jemarinya di kerah bajunya dengan senyum, kedua adikku menunjuk-nunjuk baju rok yang tergantung lebih rendah dari yang lain, sedangkan aku hanya berdiri di bawah gantungan pakaian yang sebenarnya di situlah pilihanku tertahan.
“Silakan Pak. dipilih, dipilih.” Dengan ramah pedagang itu mempersilakan kami.
Namun, tak satu pun terang-terangan mengungkapkannya kepada ayah. Bukan tidak berani, melainkan kami semua tahu bahwa setiap keinginan mestilah dikondisikan dengan keuangan.
Cernak%2BFaris%2BAl%2BFaisal%2Bdimuat%2BSuara%2BMerdeka%252C%2B24%2BSeptember%2B2017
“Ini baju daster untuk ibu, beberapa bulan lagi kita kondangan ke paman Semang di Larangan,” ucap Ayah pelan tetapi disambut senang oleh Ibu.
“Lilin dan Lais mau baju rok itu?” tunjuk Ayah kepada kedua anak perempuannya.
“Ya Ayah, mau, mau.”
Lantas pedagang baju itu mengambilkan pakaian yang ditunjukkan ayah dengan hati senang karena beberapa menit yang lalu tak seorang pun yang menyentuh barang dagangannya.
Tinggal aku yang belum mendapatkan bagian baju. Namun, mata Ayah seperti mencari-cari sesuatu di antara tumpukkan baju di atas meja panjang gerobak itu.
“Bukannya Lebaran sebentar lagi?”
Entah kepada siapa Ayah menanyakan itu. Kulihat Ayah tak memedulikan pertanyaannya dijawab atau tidak.
“Dan tahun pelajaran baru beberapa bulan lagi?”
Aku mulai tahu ke mana arah pembicaraan Ayah. Tangannya sudah menjamah bungkusan baju dan celana yang dimasukkan ke dalam plastik yang sama. Hatiku berdesir seperti angin laut membelai pesisir lautan.
“Bungkus pak!”
***
LEBARAN membuat hati semua orang senang bukan buatan. Semua saling bermaaf-maafan dan saling mendoakan. Dengan pakaian baru yang masih tergantung mereknya aku memakai baju lebaranku dengan senang. Kau tahu kawan, baju itu adalah yang dibeli ayah di pasar malam dua bulan yang lalu. Baju seragam merah putih yang masih harum bau kainnya.
“Ayah mau kamu sekolah sampai ujian. Lulus dan melanjutkan sekolah sampai menjadi guru, dokter atau presiden.”
Betapa gembira aku mendengar kata-kata lelaki nelayan itu. Tak menyia-nyiakan kesempatan, kupeluk tubuh ayahku dengan sepenuh hatiku.
“Lain akan lebih rajin belajar lagi agar keinginan ayah itu terwujudkan.”
Ayah membalas pelukanku dan mengelus-elus rambutku. Lalu dengan tanpa bisa ditahan-tahan air mata bahagiaku menetes. Sejuk sekali menerpa wajahku. (58)
Rujukan:  
[1] Disalin dari karya Faris Al Faisal
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” 24 September 2017

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ