PANEN bawang kali ini bertepatan dengan musim kemarau. Di satu sisi, panen di musim kemarau menguntungkan karena bawang-bawang yang baru di panen bisa langsung dijemur dan cepat kering. Sementara di sisi lain panen pada musim kemarau membuat para petani cepat lelah. Debu-debu dan racun bawang akan beterbangan. Petani harus selalu menutup mulut dan hidung dengan masker supaya kulit tidak mengelupas dan debunya tidak terhirup. Mereka juga menggunakan sarung tangan dan sepatu bot supaya kulit tidak terbakar sinar matahari langsung. Di bawah kaki Bukit Okoh, para petani bawang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, ada yang mencabut bawang dari tanah, ada yang menjalin tangkainya, ada yang memasukkannya ke dalam karung ada pula yang hilir mudik mengangkutnya ke dalam truk. Panen selalu dilaksanakan dengan sistem gotong royong dan kali ini adalah jatah ladang Mak Min.
Aku yang baru pulang sekolah, diminta ibuku untuk mengantarkan satu teko air ke ladang Mak Min, tidak jauh dari rumah kami. Lagi pula aku juga sering ke sana. Selain mengantarkan air, ibu juga kerap menyuruhku ke ladang Mak Min untuk memetik daun singkong, memetik cabai, bunga kol atau seledri jika sewaktu-waktu ibu kekurangan bahan masakan. Aku segera bersiap-siap dan berangkat.
“Hati-hati ya, Nak,” pinta ibu sambil memasang tutup teko.
“Baik, Bu,” balasku sambil merapikan topi.
Aku lalu memasang sendal dan menuju ladang Mak Min.
Mak Min adalah petani ulung. Selain menanam bawang, Mak Min juga menanam wortel dan sayur-sayuran yang lain. Mak Min memanfaatkan setiap bagian ladang yang kosong. Mak Min punya anak bernama Hafiz, dia seusia denganku. Biasanya kami berangkat ke ladang berdua, namun kali ini sepertinya Hafiz sudah sampai dulu di sana. Aku bisa melihat itu dari topi koboi yang digunakannya.
Dua hari yang lalu, ladang Mak Min tampak seperti karpet hijau yang membentang luas. Daun bawangnya muda. Mak Min pandai memperhitungkan pupuk dan racun apa yang diberikan kepada tanaman bawangnya hingga bawang-bawang Mak Min tumbuh sehat dan subur. Namun karpet hijau di pinggir danau itu sekarang sudah gundul. Satu persatu tangkai bawang sudah dicabut dari tanah.
“Mak Miiiin,” teriakku pada Mak Min sambil mengangkat teko yang kubawa dengan kedua tanganku, menandakan bahwa sudah waktunya minum dan beristirahat. Mak Min melambai-lambai. Aku menuju pondok dan meletakkan teko di atas meja.
“Mak Min, istirahat dulu,” kataku.
“Iya, iya, sebentar,” Mak Min lalu melepas maskernya.
Beberapa menit kemudian, orang-orang yang membantu Mak Min ikut menuju pondok.
Kutuangkan air di teko ke dalam gelas satu persatu.
“Hausnya luar biasa,” cetus Pak Ali, teman Mak Min yang baru saja meneguk satu gelas air.
“Tambah sedikit lagi, Zaki,” sambung Pak Ali sambil menampung gelasnya.
“Baik, pak,” jawabku patuh. Air dari teko kutuangkan lagi ke dalam gelas Pak Ali.
Orang-orang dewasa kemudian beristirahat sambil bercerita sementara aku dan Hafiz beralih mengumpulkan bawang-bawang yang tercecer di tanah.
***
“ZAKI, Hafiz, kemarilah,” kata Mak Min ketika senja menjelang dan orang-orang sudah pulang. Jika sudah begini, seperti biasa Mak Min akan bercerita dan kami bersemangat mendengarnya.
“Masih ada air di dalam teko?” tanya Mak Min membuka cerita.
“Sudah habis, Mak Min, tapi bisa diisi lagi,” aku dan Hafiz saling berpandangan, kami mungkin akan disuruh ke rumahku untuk menambah air minum.
“Tidak, tidak usah ditambah,” timpal Mak Min menenangkan.
“Begitulah. Air di dalam teko ibarat rezeki yang diberikan Tuhan kepada manusia. Jika kita membagi rezeki kita kepada orang lain, maka Tuhan akan menggantinya dengan rezeki yang baru dan bahkan lebih banyak. Bayangkan apabila air di dalam teko tidak pernah dituangkan sama sekali, maka sampai kapanpun dia akan tetap begitu, bahkan teko tersebut bisa berlumut, lalu akan muncul jentik nyamuk,” terang Mak Min. Aku dan Hafiz mengangguk paham.
“Kita harus rajin bersedekah ya, Mak Min?” tanyaku memastikan.
“Dan berbagi kebaikan kepada orang lain, Ayah?” imbuh Hafiz.
“Kalian cerdas sekali, itu maksudnya,” simpul Mak Min.
Langit senja semakin tampak jingga. Gema suara murotal dari masjid sudah terdengar. Kami harus segera berkemas, waktu mengaji sebentar lagi. Aku dan Hafiz sama-sama berjanji bahwa kami tidak akan seperti teko yang diam, namun akan meniru sifat teko yang selalu menuangkan air-airnya untuk sesama. Aku membawa teko yang sudah kosong itu pulang, untuk esok diisi air dan kembali dibawa ke ladang.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Amika An
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Padang Ekspres” edisi Minggu 28 Januari 2018